Skip to main content

Mendadak Hafizhah

 Oleh : NYS

Naura melangkah ke luar. Tangannya menjinjing sebuah layangan. Hari ini, angin lumayan kencang. Pasti cocok untuk menerbangkan layangan. Naura menggulung benang. Bersiap berlari di tanah lapang berumput tipis karena sering terinjak anak-anak. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ibu memanggil.

“Nauraa, ganti baju, waktunya ngaji….”

Naura menghela napas panjang. Ia paling tidak suka saat-saat itu. Mengganti celana training dengan rok, dan menyembunyikan rambut pendek dalam jilbab. Sebenarnya, ia hendak berlari sekencang-kencangnya. Berlari dengan angin, dan menari bersama layang-layang. Tetapi, Ibu memanggil untuk yang kedua kali. Dengan terpaksa, Naura bersiap-siap untuk mengaji.

Tak lama kemudian, Naura, yang sifatnya seperti anak laki-laki itu ke luar kamar. Ia melangkah dengan gamis berwarna biru. Di punggungnya, tergantung sebuah ransel kecil berisi Iqra dan Juz Amma. Tetapi, layangan masih terlihat di tangan. Sambil tersenyum manis, Naura mencium tangan Ibu yang tengah duduk dengan heran.

“Lho? Mau ngaji kok bawa layangan? Gimana toh?” tanya Ibu, menoleh dari mesin jahit.

Naura berhenti melangkah. Ia melirik sebuah layangan beserta benang yang digenggamnya. “Ooh ini, bu. Rencananya, Naura mau main layangan sehabis ngaji,” jelas gadis kecil itu. Setelah berpamitan pada Ibu, Naura lekas berlari. Tidak menuju mushola. Tetapi menuju lapangan. Di sana, sudah berkumpul beberapa temannya.

“Eh, Bu Naura, mau kemana? Masjid ke arah sana! Tapi… pengajian Ibu-ibu udah selesai dari tadi, lho…Hihihi” seru seorang anak laki-laki terkikik melihat penampilan Naura yang tidak seperti biasanya.

Naura mendelik ke arah temannya. Kemudian menggantungkan tas di sebuah ranting pohon. Jilbab dan gamis dilepas, dan dimasukkan ke dalam ransel. Saat itu juga terlihat sosok Naura yang bercelana training, dan berambut pendek.

“Naura, kamu lama banget sih! Kita-kita udah nunggu kamu dari tadi, tahu! Ngomong-ngomong buat apa tuh layangan! Kan rencananya diubah jadi main bola!” tanya Rizky, yang lengannya mengepit sebuah bola sepak.

“Ha? Diubah? Tapi nggak ada yang ngasih tahu tuh!” seru Naura seraya menaruh layangan itu di tempat duduk kayu bawah pohon. “Ya sudah deh! Lama-lama malas bermain layangan terus!”

***

Dengan semangat, Naura berlari membawa bola. Ia berhenti sebentar di depan gawang yang terbuat dari kayu, dan hampir saja mencetak satu gol. Tetapi, saat hendak menendang bola, seorang dari tim lawan tiba-tiba menendang bola itu lebih cepat dan melambung tinggi ke seberang jalan. Tendangannya kuat sekali, dan memecahkan kaca etalase toko kelontong yang berada di pingir jalan.

Anak-anak yang berada di lapangan terkejut ketika mendengar suara kaca yang pecah.

“Heh, dasar nakal! Siapa yang memecahkan etalase saya?! Ayo ngaku! Sudah saya bilang jangan bermain bola di sini!” seru seorang lelaki tua berpeci hitam, menghampiri lapangan.

Naura mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Ia melirik ke arah Rizky, temannya yang memecahkan etalase. Bibirnya pun sudah mulai terbuka.

“Dia, Pak!” seru Rizky.

Spontan, Naura terperangah. “Bu…. Bukan saya Pak,” ujarnya terkejut.

“Anak nakal! Bukannya ngaku! Pokoknya saya nggak mau tahu! Kamu harus ganti etalasenya!” tukas Pak Sartono. Kemudian menjewer telinga gadis kecil itu.

Naura bingung. Matanya mulai berkaca-kaca. Saat itu, tak ada yang bisa menghibur ataupun membelanya. Kalaupun ia membela diri, tak ada gunanya. Karena, tak ada saksi mata yang meihat kejadian itu. Semua mata tertuju pada lima buah helikopter yang berbunyi bising di langit yang kebetulan lewat.

Dengan langkah lunglai Naura segera mengambil tas dan memakai baju muslim serta jilbabnya. Masih ada waktu sebentar untuk mengikuti pengajian di TPA, walaupun nanti pasti akan dimarahi Ustadzah. Sesampainya di masjid, Naura mengintip di balik pintu. Tetapi, tiba-tiba Ustadzah menoleh ke arahnya.

“Eh, Naura… Tumben datang. Ayo masuk,” ucap Ustadzah dengan ramah. Ia mempersilakan muridnya masuk. Dengan langkah tertunduk, Naura memasuki Masjid, disambut tatapan heran teman-temannya.

“Pengajiannya sudah selesai. Tetapi, kebetulan ada pengumuman yang akan Ibu sampaikan. Bulan depan, akan diadakan lomba tahfidz antar TPA di Kecamatan. Untuk juara satu hadiahnya satu juta lima ratus. Juara dua, satu juta, dan juara tiga lima ratus ribu rupiah. Sedangkan juara harapan nanti akan mendapatkan bingkisan menarik dari sponsor. Yang mau daftar nanti hubungi Ibu biar bisa dicatat.”

“Ya, Buuuu…”

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki di barisan belakang menyahut, “Naura mau daftar nih, Buu…”

“Huuuu, Iqra empat aja nggak lanjut-lanjut, mau ikutan lomba tahfidz!” celetuk yang lain dari belakang, disambut gelak tawa anak-anak.

“Sudah… sudah, kalian tidak boleh seperti itu,” kata Ustadzah, melihat ekspresi Naura yang tak enak dipandang.

***

Sesampainya di rumah, dilihatnya seorang pria berkacak pinggang.

“Saya nggak mau tahu, pokoknya etalase saya harus diganti. Semuanya lima ratus ribu!” teriak laki-laki pemilik toko kelontong itu sambil menunjuk-nunjuk wajah ibu Naura. “Awas, ya, kalau nggak diganti, akan saya laporkan ke pihak berwajib, biar tahu rasa!”

“Mohon maaf, Pak, atas kesalahan anak saya,” sahut Ibu tertunduk sedih.

“Ya, udah, jangan lama-lama bayarnya! Masih untung saya nggak minta ganti rugi sepenuhnya!” ujarnya, kemudian berlalu meninggalkan Ibu. Sewaktu berpapasan dengan Naura, terlihat mata tajamnya menatap galak.

Ibu terduduk di kursi rotan teras, sembari mengusap wajahnya. Naura berlari menghampiri, disambut ucapan lirih wanita separuh baya itu.

“Naura, bagaimana kamu bisa senakal itu, Nak?” kata Ibu sambil terisak sedih.

“Ibuu... Maafin Naura. Sebenarnya Naura nggak salah, tapi Rizki yang mecahin. Dia yang ngaduin Naura ke Pak Sartono,” ucap anak perempuan itu. Hatinya ikut sedih melihat Ibu menangis.

“Makanya, lain kali kalau disuruh ngaji langsung berangkat, ini malah main bola. Kan Ibu juga akhirnya yang susah. Mana Ibu lagi nggak punya duit,” ujar Ibu lesu.

***
Sepanjang malam itu, wajah sedih Ibu terus terbayang dalam pikiran Naura. Ia berbaring telentang, menatap langit-langit kamar. Anak perempuan itu merasa bersalah karena tidak melaksanakan perintah Ibu. Sedari petang, Naura terus berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang.

Tiba-tiba, gadis kecil itu teringat sesuatu.

“Oh ya, bagaimana kalau aku mengikuti lomba tahfidz itu?” gumam Naura bersemangat. Tetapi kemudian, awan gelap kembali memenuhi wajahnya. “Tapi ... aku kan belum bisa baca Al-Qur’an. Hafalanku baru sampai Al-Insyiroh. Itu juga banyak yang lupa!”

Naura terdiam sejenak. Tangannya meraih sebuah Juz Amma di dalam ransel kecil, di laci meja. Dengan terbata-bata, ia membaca huruf-huruf Al-Qur’an. Tetapi, rasanya susah sekali, walaupun membaca tulisan latin. Diam-diam, perasaan menyesal muncul di benaknya. Ah, kenapa tidak dari dulu saja Naura rajin mengaji? Seharusnya, gadis kecil itu sudah bisa membaca Al-Qur-an.

***
Naura menyapu pandangan ke arah jendela. Ternyata, fajar telah menyingsing. Suara merdu murotal Qur-an terdengar dari ruang tamu, disertai kicauan burung yang riuh. Setiap pagi, Ibu memang sering menyetel CD Murrotal untuk menemaninya membuat kue, yang nantinya akan dititipkan ke warung.

Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an itu terasa tak asing lagi di telinga. Dulu sekali, sewaktu Naura masih kecil, almarhum Bapak lah yang selalu memutar CD itu sesudah shalat Subuh. Namun, Naura seringkali tidak memperhatikannya. Tiba-tiba ia mendapat ide. Kenapa tak terpikirkan dari tadi ya?

Sore harinya, Ibu terheran-heran melihat anak semata wayangnya sudah berpakaian rapi dan berpamitan untuk mengaji tanpa harus disuruh. Naura bergegas menuju TPA tempatnya mengaji. Setelah semua anak pulang, ia menemui Ustadzah yang sedang merapikan buku-buku di meja kecil.

“Maaf, Ustadzah. Boleh tidak, saya mendaftar lomba hafidz?” tanya Naura memohon.

Ustadzah terlihat sangat terkejut. Sampai-sampai buku yang dipegangnya jatuh ke meja kembali. “Benarkah?” serunya tak percaya, mengingat muridnya yang sering membolos itu.

“Iya, benar, Ustadzah. Saya akan menghafal dengan sungguh-sungguh,” ujar Naura meyakinkan.

“Baiklah. Ibu senang mendengarnya. Kamu sebenarnya anak yang cerdas, Naura. Di sini, Ibu menilai kamu sebagai anak yang dapat menangkap sesuatu dengan cepat. Ibu yakin kamu pasti bisa! Ibu akan mendaftarkan kamu nanti ke panitia,” Ustadzah tersenyum ramah, seraya merapikan buku-buku yang berserakan di atas meja.

***
Naura merapikan jilbab sewaktu namanya dipanggil panitia. Dengan gugup, ia melangkah ke atas panggung. Meihat begitu banyak penonton, rasanya gadis kecil itu ingin berlari pulang. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai menitik dari kening. Sesaat, ia terdiam dan bingung harus melakukan apa. Rasanya, semua hafalan sudah terhapus dari ingatan.

Tetapi, tiba-tiba, ia melihat wajah sedih Ibu sewaktu didatangi pemilik etalase yang pecah. Juga, senyum Ibu sewaktu ia meminta izin mengikuti lomba tahfidz. Naura harus bisa membanggakannya! Harus membuktikan kepada semua orang bahwa ia bukan anak yang nakal. Naura menarik napas panjang, lalu menutup mata. Aku harus bisa! Aku harus menang! Tekadnya dalam hati.

Seketika, suara merdu dan lantang terdengar dari bibirnya. Begitu syahdu lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibawakan gadis tomboy itu, sehingga membuat suasana hening. Hafalan sepuluh surat terakhir Juz 30 yang diwajibkan panitia, dilafalkan dengan nyaris sempurna. Nadanya yang indah, bisa membuat hati semua orang bergetar.

Naura menyelesaikan ayat terakhir. Ketika membuka mata, terlihat sosok Ibunya yang terisak haru di antara deretan kursi penonton. Ustadzah dan teman-teman juga berada di sana. Bersamaan dengan itu, terdengar tepuk tangan bergemuruh memenuhi seisi ruangan.

Naura melangkah menuruni panggung. Di sana, ia disambut pelukan erat sang Ibu, yang masih menitikkan air mata bahagia. Sorak-sorai teman-teman, riuh rendah mengelu-elukan namanya.

“Wah, nggak nyangka lho, kalau kamu bisa mengaji sebagus itu!” kata Ammar terkagum-kagum. “Aku yakin, kamu pasti menang!” Naura hanya tersipu malu mendengar pujian itu.

Saat pengumuman pun tiba. Naura terlihat komat-kamit membaca doa. Ia sangat berharap bisa menang sekalipun juara tiga, agar bisa membayar ganti rugi etalase.

Tiba-tiba suasana yang hiruk pikuk berubah hening. Seorang laki-laki mengenakan kopiah putih menaiki panggung dengan membawa map berwarna hijau. Ia menyebutkan nama-nama para pemenang dari juara harapan tiga, harapan dua, harapan satu, lalu juara tiga. Tapi tak terdengar nama Naura Maulida disebutkan. Ia mulai putus harapan.

"Harusnya aku tidak terlalu berharap," bisiknya kecewa.

Tiba-tiba, Ustadzah yang duduk di sebelahnya menarik tangan kanan gadis kecil yang tengah melamun itu. “Naura, kamu juara dua! Selamat, ya,” seru Ustadzah sambil menjabat erat tangannya.

“Apa? Juara dua? Yang benar, Ustadzah?” serunya tak percaya. Dilihatnya wajah Ibu berurai air mata karena terharu dan bangga.

Sebelum naik ke panggung, Naura memeluk ibunya sekali lagi. Ia hampir saja mengira kalau ini hanya mimpi. Tak sia-sia usahanya sebulan ini bersusah payah menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ia berjanji akan lebih giat lagi mengaji dan menghafal. Cita-citanya yang dulu ingin menjadi seorang tentara telah berubah menjadi seorang hafidzah.

“Naura, Ibu bangga, Nduk!” Ibu merengkuh Naura dan mencium pipinya setelah menuruni panggung. Bahkan gadis kecilnya bisa merasakan betapa bahagianya beliau. 

“Selamat, ya, Naura, ternyata kamu bukan anak nakal yang selama ini Bapak kira. Bapak bangga padamu,” ujar seorang laki-laki berbaju batik serta berpeci hitam, yang ternyata adalah Pak Sartono.

“Terima kasih, Pak. Nanti uang etalasenya saya bayar dari hadiah yang saya terima,” ujarnya sambil mencium punggung tangan pria itu. 

“Tidak usah, Naura. Kebetulan Rizky beserta orang tuanya datang ke rumah dan telah membayar ganti ruginya. Kalau kamu mau, uang yang seharusnya diberi ke Bapak, diinfakkan untuk pembangunan masjid yang sedang direnovasi. Oh, ya, maafkan, Bapak sudah memarahi kamu. Rizky juga titip salam dan minta maaf.”

“Terima kasih, Pak. Insyaallah nanti saya infakkan. Ngomong-ngomong, kok, Bapak bisa ada di sini?” tanya Naura penasaran.

Pak Sartono tersenyum. “Iya, saya kan ketua Taman Pendidikan Al-Qur'an tempat kamu mengaji,” sahutnya.

Tiba-tiba, seorang temannya menyahut. "Naura! Kok kamu bisa sih mendadak bisa hafal Al-Qur’an? Padahal kan kamu ngajinya baru iqra tiga. Kasih tahu dong rahasianya!”

“Selama sebulan ini aku belajar menghafal Al-Qur’an dari CD Murrotal. Jadi aku memutarnya berulang-ulang sampai aku hafal dan bunyinya sama persis dengan suara di CD,” jelas Naura, seraya tersenyum manis.

“Wah, teman-teman! Kita harus meniru cara Naura menghafal! Sepertinya cukup ampuh dan menyenangkan!”

Naura tersenyum lebar. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Hari di mana ia bisa melafalkan Al-Qur’an dengan baik. Dan, di hari yang sama, ia bisa melihat Ibunya bisa tersenyum bangga serta bahagia melihat anak semata wayangnya mulai mencintai Al-Qur’an. 

Jika ada yang bertanya kenapa Naura berubah, dengan enteng, ia akan menjawab, “Aku ingin memberi mahkota yang bersinar untuk Ibu dan Bapak di surga.”


-SELESAI-






Comments

Popular posts from this blog

Syarat-Syarat Pengiriman Naskah KKPK

Untuk kalian yang ingin mengirim naskah ke penerbit, Dar! Mizan menerima naskah anak-anak nih!. Yaitu KKPK alias Kecil-Kecil Punya Karya. Yang belum tahu persyaratan mengirim naskah KKPK, ini dia syarat-syarat yang harus diperhatikan : Ketentuan Naskah novel dan kumpulan cerpen: 1. Usia penulis maksimal 12 tahun. 2. Jumlah halaman cerita minimal 45 halaman, maksimal 50 halaman. (tidak termasuk kata pengantar, ucapan terima kasih, daftar isi, halaman profil, dll). 3. Diketik kemudian diprint di kertas HVS A4, 1.5 spasi, Font: Times New Roman Besar Font: 12 pt. Dikirim ke alamat Penerbit Mizan ,   Jl. Cinambo No.135 , Cisaranten Wetan, Ujung Berung, Bandung 40294 4. Karya yang dikirim adalah karya asli perseorangan. Tidak boleh menjiplak dan mengadaptasi dari karya orang lain. 5. Karya tidak boleh menyinggung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan), kekerasan, ketidaksopanan terhadap teman, orang tua, dan guru. 6. Karya disertai dengan biodata lengkap...

Syarat Kirim Naskah ke Fantasteen

Buat kamu yang sudah gatal pengen nerbitin novel Fantasi, ayo, kirim ke redaksi Fantasteen DAR! Mizan... Caranya gampang kok, ikuti aja ketentuan dibawah ini  : Kirim naskah dengan tebal halaman 75-100 kertas A4 spasi 1,5  (hindari penggunaan jenis font Comic Sans) Usia untuk penulis Fantasteen adalah 13-18 tahun Fantasteen tidak menerima naskah-naskah bertema Romance Kirimkan naskah yang sudah diketik rapi dan di-print   ke alamat redaksi mizan via pos (Mizan tidak terima naskah via email)           Dilengkapi dengan :  Biodata lengkap (dengan nomor yang bisa dihubungi, dan alamat e-mail) Sinopsis cerita Ucapan terima kasih Foto terbaru pengarang  Naskah dalam bentuk digital Naskah yang diterbitkan adalah naskah terbaik setelah melalui   seleksi dan evaluasi selama maksimal 3 bulan. Naskah yang tidak layak terbit, akan kita kabari via surat atau telepon Naskah yang dikirimkan tidak bi...

Tragedi Burung Perenjak dan Burung Kedasih

Teman-teman, aku ingin bercerita tentang burung kedasih yang menitipkan anaknya ke burung perenjak. Ini adalah tragedi yang menguras perasaan dari dunia burung. Ikutilah kisah burung prenjak dan burung kedasih ini. Dunia ilmu pengetahuan mengenalnya sebagai fenomena parasit sarang. Burung kedasih tidak bisa membuat sarang. Kelemahan itu ditambah lagi dengan tidak mau memelihara anaknya. Maka ketika ingin bertelur, burung kedasih mencari burung yang akan menjadi inang bagi anaknya. Seringkali incarannya adalah burung prenjak. Ketika burung prenjak masih di sarang, burung kedasih mengintipnya. Baru ketika burung prenjak terbang untuk mencari makan, burung kedasih segera bertelur di sarang burung prenjak. Coba perhatikan! Telur burung kedasih lebih besar dibanding burung prenjak. Tapi namanya juga burung, prenjak tidak curiga ada satu telur yang berbeda di antara telur-telurnya. Dia tidak menghitung berapa jumlah telur saat dia meninggalkannya. Telur burung kedasih yang ...