Aku masih menunggu di ruang lomba. Sendirian. Hanya bersama selembar kertas berisi rentetan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Ya, naskah pidato!Banyak pengalaman yang kudapatkan di 'lomba penting' keduaku. *ceilah :p*. Kali ini, aku menuju penyeleksian tingkat kabupaten. Merasa jadi seseorang yang dipercaya oleh sekolah, rasanya? Campur aduk! Antara bangga, gugup, dan... takut...
Kami--rombongan sekolahku--berangkat ke tempat pelaksanaan lomba. Hari itu, aku merasa saaaangat gugup. Aku berusaha melenyapkan rasa takut yang menjalar. Berulangkali membaca naskah pidato, aku bertanya kepada salah satu teman yang juga diikutkan lomba, namun berbeda cabang. "Kamu degdeg-an nggak?" Tapi temanku itu menggeleng. "Biasa aja!" ucapnya.
Dalam hati, aku berterimakasih karena pidato Bahasa Inggris lebih mudah ketimbang Fisika.
Sesampainya di gedung sekolah tempat pelaksanaan acara Aksioma 2017, setelah mendaftar ulang, aku dan guru pendamping segera ke ruangan. Namun, di sana sepi sekali, Hanya ada kursi-kursi untuk para peserta English Speech dan beberapa lagi untuk para juri di sana.
Suara drum dan beberapa alat musik marching band terdengar jelas hingga lantai tiga. Masih acara pembukaan. Aku harus mempergunakan waktu ini sebaik-baiknya. Dan sekejap, pandangan sudah tertumpu kembali pada naskah pidato yang bagaikan menyedotku pada dunia asing yang kini tak lagi asing. Entah kenapa rentetan kata itu kelamaan membuat pening, meski tiga lembar itu sudah tersimpan dalam memori.
Dan... akhirnya, peserta-peserta lain mulai berdatangan. Seorang gadis remaja dan anak lelaki. Dua-duanya beralmamater hitam. Rapi sekali. Seperti orator sungguhan. Ah, aku jadi minder, karena setelahnya aku tahu, hanya akulah peserta tanpa almamater. Hanya berseragam putih biru dan memakai sepatu yang dipinjamkan sepupu.
Mereka duduk di kursi tak jauh dariku dan saling mengucapkan pidato masing-masing. Meski perlahan. Tapi, kupikir, mereka seperti pamer. Jadi, aku mengikuti saja. Sok tak mempedulikan, dan mengucapkan pidato (sst) agak kencang! :p
Oh ya, gadis itu bersepatu hak hitam, dan hingga kini, aku masih bisa mendengar suaranya mengetuk lembut lantai ketika berjalan.
Namun, tatapan dan senyum mereka bagai tengah merendahkan.
Dan ketika sedang membaca teks, masuk kembali seorang anak lelaki bersama pendamping-pendampingnya. Sosok tinggi, berjas merah tua dengan banyak kancing. Kulitnya putih, barangkali hanya itu yang kutangkap darinya..
Awalnya aku tak peduli sama sekali, hingga aku merasakan ada seseorang yang menatapku. Berasal dari kursi di pojok paling kanan.
Aku menengok. Si Almamater Merah Tua itu cengengesan. (Ah mungkin kata 'tersenyum' lebih tepat).
Hfft dia tersenyum ke arah siapa sih? Padahal, perhatian seluruh peserta sedang terpusat pada juri-juri yang baru masuk. Tak ada siapa-siapa yang bisa dia sapa.
Aku menengok ke belakang. Pendamping-pendampingnya sedang asyik mengobrol. Kemudian ke arah guruku yang tengah sibuk dengan ponsel di samping. Tak ada siapapun yang berkontak dengannya. Ah, biarkan sajalah! Fokus pada pidatomu, Yum!
Upacara pembukaan AKSIOMA di lapangan telah usai. Kursi-kursin kosong telah terisi. Dan kau tahu? Semua memakai almamater dan jas! Dan tinggi-tinggi. Berasa jadi kurcaci deh di antara raksasa! :D
Tiga orang dewasa memasuki ruangan. Ya, pasti merekalah jurinya! Dan seorag pria membawa sebuah map.
Aku dipanggil ke depan untuk menyerahkan tiga lembar naskah pidato untuk dewan juri ke pria berkopiah yang membawa map tadi. Lalu, beliau menyuruhku memilih salah satu kertas yang bertebar di mejanya. Mungkin untuk nomor urut tampil. Bismillah... Semoga bukan no urut pertama. Dengan tangan bergetar aku memilih. Ini seperti memilih keputusan paling hebat yang akan menentukan takdirku saja.
Aku meraih salah satu gulungan kertas. Nomor 3 tertera di sana.
Usai semua peserta mendapatkan 'kertas' mereka, panitia mengumumkan ketentuan lomba English Speech. Tapi, konsentrasiku terpecah. Anak lelaki itu kembali menatapku. Padahal aku duduk di sebelah pojok kiri dan dia di pojok kanan.
Aku melirik, kemudian mengernyit bingung. Untuk apa dia memerharikan seperti itu? Apa mungkin karena penampilan yang berbeda dari peserta lain? Hffft, siapa sih sebenarnya sosok itu? Jujur, aku risih diperhatikan!
Dan... aku pura-pura saja tidak tahu.
***
Waktu cepat sekali berlari, dan tak terasa, peserta pertama dan kedua telah tampil. Dengan performance yang saangat baguus (sekali).
Ah, rasanya aku belum siap! Tapi, siap nggak siap, harus siap! Meski pikiran dipenuhi kalimat, “kamu pasti kalah. Penampilanmu nggak bakalan bisa sebagus mereka!”
Dan satu pertanyaan muncul di benak. Apakah mereka merasakan seperti apa yang kurasa sebelumnya?
Namun, kata-kata Ibu Kepala Sekolah kemarin kembali terngiang, membuat hati sedikit lega, "Nggak usah gugup. Menang kalah nggak penting. Yang penting, mengerahkan seluruh kemampuan terbaik. Kalau sudah mengerahkan kemampuanmu yang terbaik, pasti juara juga akan mengikuti."
Tiba saatnya tampil. Aku merapikan jilbab dan beranjak. “Tenang aja, nggak usah gugup. Jurinya teman bapak semua kok!” ujar Pak Taufik, sebelum aku melangkah ke depan.
Aku memandang orang-orang di hadapan. Beberapa pasang mata itu... bagaikan ribuan mata yang memperhatikan sosok gadis kecil yang tengah gemetar. Tapi... aku harus bisa! Aku harus memberikan yang terbaik untuk sekolah! Karena mereka telah memberikan kepercayaan, dan aku sudah menggenggamnya.
Kupandang balik peserta-peserta itu. Kemudian, tertumpu pada gadis tadi. Entah perasaanku saja yang terlalu sensitif, atau memang dia yang menatap menyiratkan, “pasti penampilannya jelek!”
Kemudian sang panitia memberikan aba-aba mulai. Menghitung sampai tiga dan menghentakkan sebuah kayu di meja, tanda waktu dimulai dari sekarang.
Aku menarik nafas panjang. Pak Tauik, guru pendampingku mulai merekam menggunakan ponselnya.
Aku harus bisa membanggakan sekolah! Dan membuktikan pada banyak orang yang merendahkan bahwa aku... bisa...
***
“Well, I think, that’s all my speech... I’m sorry if I made any mistakes and for your attenetion, I say thank you.”
Aku menghela nafas, dan kembali ke tempat duduk. Tepuk tangan riuh rendah memenuhi ruangan yang bagaikan diselimuti atmosfir menegangkan.
Yeah! Aku tak menyangka bisa menyelesaikan pidato hingga penutupan! Meski, ada beberapa yang keseleo lidah, dan hampir saja macet di tengah-tengah!
Kini, benak dipenuhi perasan lega. Namun, itu hanya sementara, karena... perasaan lain kembali menyeruak. Apa pandangan juri-juri dan mereka tentang penampilanku barusan? Andaikan waktu bisa diputar seperti film, aku ingin menonton diri sendiri di balik layar!
Tapi... menit setelahnya, aku melupakan ‘para orator’. Membayangkan seluruh peristiwa yang terjadi setelahnya. Karena ekspresi Pak Taufik yang menyiratkan kekecewaan, aku jadi pesimis dan ingin sekali pulang...
***
Siapa sebenarnya sosok yang memperhatikanku sedari tadi?
Dan ... siapa pula sosok yang telah lama kurindukan, tak sengaja bertemu di sana? *azeeek :v (Jangan ngira yang enggak-enggak -_-)
(To be continued...)
*kek film aja pake tubi kontinud segala :3*
*karena tanganku udah pegel nih :v*
N.B. Aku menulis ini karena kurasa, pengalaman ini berkesan. Dan, siapa tahu, Yumna di masa depan nyengir pas baca ini :p
Comments
Post a Comment
Kotak Komentar >> Tinggalkan jejakmu berupa kritik, saran, atau komentar yang mendukung. Terima kasih.