Skip to main content

Unforgettable in AKSIOMA (1)

Aku masih menunggu di ruang lomba. Sendirian. Hanya bersama selembar kertas berisi rentetan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Ya, naskah pidato!
Banyak pengalaman yang kudapatkan di 'lomba penting' keduaku. *ceilah :p*. Kali ini, aku menuju penyeleksian tingkat kabupaten. Merasa jadi seseorang yang dipercaya oleh sekolah, rasanya? Campur aduk! Antara bangga, gugup, dan... takut...
Kami--rombongan sekolahku--berangkat ke tempat pelaksanaan lomba. Hari itu, aku merasa saaaangat gugup. Aku berusaha melenyapkan rasa takut yang menjalar. Berulangkali membaca naskah pidato, aku bertanya kepada salah satu teman yang juga diikutkan lomba, namun berbeda cabang. "Kamu degdeg-an nggak?" Tapi temanku itu menggeleng. "Biasa aja!" ucapnya.
Dalam hati, aku berterimakasih karena pidato Bahasa Inggris lebih mudah ketimbang Fisika.
Sesampainya di gedung sekolah tempat pelaksanaan acara Aksioma 2017, setelah mendaftar ulang, aku dan guru pendamping segera ke ruangan. Namun, di sana sepi sekali, Hanya ada kursi-kursi untuk para peserta English Speech dan beberapa lagi untuk para juri di sana.
Suara drum dan beberapa alat musik marching band terdengar jelas hingga lantai tiga. Masih acara pembukaan. Aku harus mempergunakan waktu ini sebaik-baiknya. Dan sekejap, pandangan sudah tertumpu kembali pada naskah pidato yang bagaikan menyedotku pada dunia asing yang kini tak lagi asing. Entah kenapa rentetan kata itu kelamaan membuat pening, meski tiga lembar itu sudah tersimpan dalam memori.
Dan... akhirnya, peserta-peserta lain mulai berdatangan. Seorang gadis remaja dan anak lelaki. Dua-duanya beralmamater hitam. Rapi sekali. Seperti orator sungguhan. Ah, aku jadi minder, karena setelahnya aku tahu, hanya akulah peserta tanpa almamater. Hanya berseragam putih biru dan memakai sepatu yang dipinjamkan sepupu.
Mereka duduk di kursi tak jauh dariku dan saling mengucapkan pidato masing-masing. Meski perlahan. Tapi, kupikir, mereka seperti pamer. Jadi, aku mengikuti saja. Sok tak mempedulikan, dan mengucapkan pidato (sst) agak kencang! :p
Oh ya, gadis itu bersepatu hak hitam, dan hingga kini, aku masih bisa mendengar suaranya mengetuk lembut lantai ketika berjalan.
Namun, tatapan dan senyum mereka bagai tengah merendahkan.
Dan ketika sedang membaca teks, masuk kembali seorang anak lelaki bersama pendamping-pendampingnya. Sosok tinggi, berjas merah tua dengan banyak kancing. Kulitnya putih, barangkali hanya itu yang kutangkap darinya..
Awalnya aku tak peduli sama sekali, hingga aku merasakan ada seseorang yang menatapku. Berasal dari kursi di pojok paling kanan.
Aku menengok. Si Almamater Merah Tua itu cengengesan. (Ah mungkin kata 'tersenyum' lebih tepat).
Hfft dia tersenyum ke arah siapa sih? Padahal, perhatian seluruh peserta sedang terpusat pada juri-juri yang baru masuk. Tak ada siapa-siapa yang bisa dia sapa.
Aku menengok ke belakang. Pendamping-pendampingnya sedang asyik mengobrol. Kemudian ke arah guruku yang tengah sibuk dengan ponsel di samping. Tak ada siapapun yang berkontak dengannya. Ah, biarkan sajalah! Fokus pada pidatomu, Yum!
Upacara pembukaan AKSIOMA di lapangan telah usai. Kursi-kursin kosong telah terisi. Dan kau tahu? Semua memakai almamater dan jas! Dan tinggi-tinggi. Berasa jadi kurcaci deh di antara raksasa! :D
Tiga orang dewasa memasuki ruangan. Ya, pasti merekalah jurinya! Dan seorag pria membawa sebuah map.
Aku dipanggil ke depan untuk menyerahkan tiga lembar naskah pidato untuk dewan juri ke pria berkopiah yang membawa map tadi. Lalu, beliau menyuruhku memilih salah satu kertas yang bertebar di mejanya. Mungkin untuk nomor urut tampil. Bismillah... Semoga bukan no urut pertama. Dengan tangan bergetar aku memilih. Ini seperti memilih keputusan paling hebat yang akan menentukan takdirku saja.
Aku meraih salah satu gulungan kertas. Nomor 3 tertera di sana.
Usai semua peserta mendapatkan 'kertas' mereka, panitia mengumumkan ketentuan lomba English Speech. Tapi, konsentrasiku terpecah. Anak lelaki itu kembali menatapku. Padahal aku duduk di sebelah pojok kiri dan dia di pojok kanan.
Aku melirik, kemudian mengernyit bingung. Untuk apa dia memerharikan seperti itu? Apa mungkin karena penampilan yang berbeda dari peserta lain? Hffft, siapa sih sebenarnya sosok itu? Jujur, aku risih diperhatikan!
Dan... aku pura-pura saja tidak tahu.
***
Waktu cepat sekali berlari, dan tak terasa, peserta pertama dan kedua telah tampil. Dengan performance yang saangat baguus (sekali).
Ah, rasanya aku belum siap! Tapi, siap nggak siap, harus siap! Meski pikiran dipenuhi kalimat, “kamu pasti kalah. Penampilanmu nggak bakalan bisa sebagus mereka!”
Dan satu pertanyaan muncul di benak. Apakah mereka merasakan seperti apa yang kurasa sebelumnya?
Namun, kata-kata Ibu Kepala Sekolah kemarin kembali terngiang, membuat hati sedikit lega, "Nggak usah gugup. Menang kalah nggak penting. Yang penting, mengerahkan seluruh kemampuan terbaik. Kalau sudah mengerahkan kemampuanmu yang terbaik, pasti juara juga akan mengikuti."
Tiba saatnya tampil. Aku merapikan jilbab dan beranjak. “Tenang aja, nggak usah gugup. Jurinya teman bapak semua kok!” ujar Pak Taufik, sebelum aku melangkah ke depan.
Aku memandang orang-orang di hadapan. Beberapa pasang mata itu... bagaikan ribuan mata yang memperhatikan sosok gadis kecil yang tengah gemetar. Tapi... aku harus bisa! Aku harus memberikan yang terbaik untuk sekolah! Karena mereka telah memberikan kepercayaan, dan aku sudah menggenggamnya.
Kupandang balik peserta-peserta itu. Kemudian, tertumpu pada gadis tadi. Entah perasaanku saja yang terlalu sensitif, atau memang dia yang menatap menyiratkan, “pasti penampilannya jelek!”
Kemudian sang panitia memberikan aba-aba mulai. Menghitung sampai tiga dan menghentakkan sebuah kayu di meja, tanda waktu dimulai dari sekarang.
Aku menarik nafas panjang. Pak Tauik, guru pendampingku mulai merekam menggunakan ponselnya.
Aku harus bisa membanggakan sekolah! Dan membuktikan pada banyak orang yang merendahkan bahwa aku... bisa...
***
“Well, I think, that’s all my speech... I’m sorry if  I made any mistakes and for your attenetion, I say thank you.”
Aku menghela nafas, dan kembali ke tempat duduk. Tepuk tangan riuh rendah memenuhi ruangan yang bagaikan diselimuti atmosfir menegangkan.
Yeah! Aku tak menyangka bisa menyelesaikan pidato hingga penutupan! Meski, ada beberapa yang keseleo lidah, dan hampir saja macet di tengah-tengah!
Kini, benak dipenuhi perasan lega. Namun, itu hanya sementara, karena... perasaan lain kembali menyeruak. Apa pandangan juri-juri dan mereka tentang penampilanku barusan? Andaikan waktu bisa diputar seperti film, aku ingin menonton diri sendiri di balik layar!
Tapi... menit setelahnya, aku melupakan ‘para orator’. Membayangkan seluruh peristiwa yang terjadi setelahnya. Karena ekspresi Pak Taufik yang menyiratkan kekecewaan, aku jadi pesimis dan ingin sekali pulang...
***
Siapa sebenarnya sosok yang memperhatikanku sedari tadi?
Dan ... siapa pula sosok yang telah lama kurindukan, tak sengaja bertemu di sana? *azeeek :v (Jangan ngira yang enggak-enggak -_-)
(To be continued...)
*kek film aja pake tubi kontinud segala :3*
*karena tanganku udah pegel nih :v*
N.B. Aku menulis ini karena kurasa, pengalaman ini berkesan. Dan, siapa tahu, Yumna di masa depan nyengir pas baca ini :p

Comments

Popular posts from this blog

Syarat-Syarat Pengiriman Naskah KKPK

Untuk kalian yang ingin mengirim naskah ke penerbit, Dar! Mizan menerima naskah anak-anak nih!. Yaitu KKPK alias Kecil-Kecil Punya Karya. Yang belum tahu persyaratan mengirim naskah KKPK, ini dia syarat-syarat yang harus diperhatikan : Ketentuan Naskah novel dan kumpulan cerpen: 1. Usia penulis maksimal 12 tahun. 2. Jumlah halaman cerita minimal 45 halaman, maksimal 50 halaman. (tidak termasuk kata pengantar, ucapan terima kasih, daftar isi, halaman profil, dll). 3. Diketik kemudian diprint di kertas HVS A4, 1.5 spasi, Font: Times New Roman Besar Font: 12 pt. Dikirim ke alamat Penerbit Mizan ,   Jl. Cinambo No.135 , Cisaranten Wetan, Ujung Berung, Bandung 40294 4. Karya yang dikirim adalah karya asli perseorangan. Tidak boleh menjiplak dan mengadaptasi dari karya orang lain. 5. Karya tidak boleh menyinggung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan), kekerasan, ketidaksopanan terhadap teman, orang tua, dan guru. 6. Karya disertai dengan biodata lengkap: :

Syarat Kirim Naskah ke Fantasteen

Buat kamu yang sudah gatal pengen nerbitin novel Fantasi, ayo, kirim ke redaksi Fantasteen DAR! Mizan... Caranya gampang kok, ikuti aja ketentuan dibawah ini  : Kirim naskah dengan tebal halaman 75-100 kertas A4 spasi 1,5  (hindari penggunaan jenis font Comic Sans) Usia untuk penulis Fantasteen adalah 13-18 tahun Fantasteen tidak menerima naskah-naskah bertema Romance Kirimkan naskah yang sudah diketik rapi dan di-print   ke alamat redaksi mizan via pos (Mizan tidak terima naskah via email)           Dilengkapi dengan :  Biodata lengkap (dengan nomor yang bisa dihubungi, dan alamat e-mail) Sinopsis cerita Ucapan terima kasih Foto terbaru pengarang  Naskah dalam bentuk digital Naskah yang diterbitkan adalah naskah terbaik setelah melalui   seleksi dan evaluasi selama maksimal 3 bulan. Naskah yang tidak layak terbit, akan kita kabari via surat atau telepon Naskah yang dikirimkan tidak bisa dikembalikan, kecuali disertai dengan perangko Kir

Tragedi Burung Perenjak dan Burung Kedasih

Teman-teman, aku ingin bercerita tentang burung kedasih yang menitipkan anaknya ke burung perenjak. Ini adalah tragedi yang menguras perasaan dari dunia burung. Ikutilah kisah burung prenjak dan burung kedasih ini. Dunia ilmu pengetahuan mengenalnya sebagai fenomena parasit sarang. Burung kedasih tidak bisa membuat sarang. Kelemahan itu ditambah lagi dengan tidak mau memelihara anaknya. Maka ketika ingin bertelur, burung kedasih mencari burung yang akan menjadi inang bagi anaknya. Seringkali incarannya adalah burung prenjak. Ketika burung prenjak masih di sarang, burung kedasih mengintipnya. Baru ketika burung prenjak terbang untuk mencari makan, burung kedasih segera bertelur di sarang burung prenjak. Coba perhatikan! Telur burung kedasih lebih besar dibanding burung prenjak. Tapi namanya juga burung, prenjak tidak curiga ada satu telur yang berbeda di antara telur-telurnya. Dia tidak menghitung berapa jumlah telur saat dia meninggalkannya. Telur burung kedasih yang